STATUS tersangka korupsi ataupun suap adalah sebuah situasi yang paling tidak diinginkan siapa pun. Status ini akan memberikan dampak buruk yang sangat besar bagi siapa pun penyandangnya. Karir politik akan hancur. Apa pun yang telah dirintis selama bertahun-tahun, akan rusak. Belum lagi beban yang akan ditanggung keluarga.
Kalau memang benar yang bersangkutan melakukan kesalahan yang ditersangkakan, masih bisalah dikatakan, semua kehancuran tadi adalah bagian yang harus diterima, akibat perbuatannya sendiri.
Tapi, bagaimana pula kalau ternyata yang ditersangkakan korupsi itu, sama sekali tidak melakukannya atau tidak tahu-menahu soal apa yang dituduhkan tersebut. Ini tentu akan menambah beban moral yang harus ditanggungnya. Akan muncul rasa emosional, dimana status tersangka sudah diumumkan ke publik, sementara yang bersangkutan tidak pernah melakukannya, atau setidaknya belum ada bukti.
Ini sebabnya, penetapan status tersangka oleh KPK, apalagi yang dilakukan secara kollektif seperti di Sumatera Utara, baru-baru ini, hendaknyalah dilakukan melalui proses sangat ketat. Bukan hendak mengatakan bahwa KPK tidak melakukannya. Tapi ini adalah harapan, agar jangan ada orang tak bersalah menjadi tersangka.
Sebagai contoh adalah, penetapan tersangka suap hak interpelasi yang melibatkan mantan Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Soal ini telah ditetapkan tersangka secara bertahap. Dimulai dari lima unsur pimpinan, menyusul enam anggota DPRD Sumut. Lalu terakhir 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut, menyusul ditetapkan tersangka oleh KPK.
Semua ditetapkan berdasarkan sebuah catatan, yang katanya mereka ada terima uang. Semua tanpa bukti tanda terima. Lalu ada tuduhan, secara bersama-sama. Kalau secara bersama-sama, kenapa penetapannya tidak serentak? Lalu kenapa tidak seluruhnya jadi tersangka?
Di DPRD Sumut memang ada oknum (salah satu unsur pimpinan) yang suka memainkan APBD. Untuk penetapan APBD, katanya, harus ada semacam kesepakatan. Dan yang jelas ada aroma suap. Inilah yang disebut dengan uang ketok palu itu.
Lalu untuk urusan ini, ada yang memang aktif terlibat dan biasanya terima sesuatu sebelum penetapan. Lalu ada yang tidak begitu berperan dan terima sesudah penetapan.
Lalu ada yang memang sama sekali tidak tau. Apakah yang sama sekali tidak tahu-menahu soal atur mengatur ini dapat bagian juga? Sebenarnya tidak. Kalaupun ada uang yang sampai ke tangan mereka, itu hanya berupa uang rapat dan lain-lain.
Lalu dalam kasus suap hak interpelasi kemarin, semuanya disamaratakan menjadi terlibat dengan penyebutan uang yang diterima kisaran Rp200-350 juta. Padahal kenyataannya tidak demikian. Yang terjadi adalah, upaya membuat daftar terima uang, agar ada semacam laporan untuk mempertanggungjawabkan uang yang sudah kadung dikeluarkan. Disinilah pada akhirnya, yang tidak tahu apa-apa itu ikut menjadi korban.
Lalu kemana uang besar tadi sebenarnya digunakan, kalau bukan untuk dibagi-bagi? Tidak diketahui jelas kemana. Tapi yang pasti, ketika itu, tiga kali berganti Kapolda Sumut dan tiga kali berganti Kajati Sumut, kasus ini tak kunjung usai. Hingga kemudian terjadi OTT oleh KPK, yang memang sudah mengendus masalah suap ini.
Kemudian yang jadi pertanyaan, bagaimana mungkin kasus sepenting itu seakan-akan menjadi 'recehan'. Belum ada pemeriksaan dan belum tahu siapa tersangka, namun ada beberapa anggota DPRD Sumut yang sudah mengetahui kapan akan ada pemeriksaan dan berapa orang yang jadi tersangka. Mereka ini seolah-olah berperan menjadi Juru Bicara KPK. Seolah-olah mereka punya akses ke dalam KPK. Jelas ini sebuah pertanyaan.
Lalu soal penetapan tersangka terakhir dengan jujmlah 38, juga menjadi pertanyaan, bagaimana cara dan prosedurnya. Bagaimana caranya, kok yang dijadikan tersangka belum tahu apa pun hasil pemeriksaan, tetapi nama-nama mereka sudah beredar di media massa? Apakah demikian prosedur yang berlaku di KPK, yakni umumkan dulu nama tersangka di media, baru kirim suratnya ke masing-masing personal?
Ada salah satu tersangka dari 38 orang yang baru ditetapkan, yang menarik perhatian. Dia ini adalah inisiator hak interpelasi kepada Gubsu, karena Gubsu mengganti pejabat-pejabat eselon III tak sesuai aturan dan menyebabkan keresahan di masyarakat. Namun sebagaimana diketahui, pada saat voting di paripurna, partainya malah menjadi penentang interpelasi.
Yang jadi pertanyaan, apakah KPK mengetahui jalan cerita, bagaimana partai yang menginisiasi interpelasi menjadi penentang interpelasi? Mungkin KPK tidak mendalami, bahwa seseorang tadi telah menjadi musuh bersama di kalangan anggota dewan karena sikapnya menginisiasi interpelasi tadi. Pengurus DPP partainya pun sampai turun tangan dan menjadikan dia menjadi ketua fraksi partai mereka, mungkin dengan tujuan, agar dia lebih punya kekuatan terkait hak interpelasi tadi.
Kenyataannya, posisi dia sebagai musuh bersama malah semakin dalam. Internal partai termasuk ketua partainya di Sumut ikut menghambat segala langkahnya. Eksternal partai pun ikut memperbesar masalah karena menganggap dia adalah 'duri dalam daging'. Konflik antara dirinya dengan internal partai serta luar partai termasuk dalam penetapan alat kelengkapan di DPRD Sumut pun ramai di media massa.
Lalu kembali ke tuduhan secara bersama-sama atau bekerja bersama-sama dalam menerima suap hak interpelasi yang dituduhkan, bagaimana mungkin dia masih diikutkan kerjasama, sementara dia sudah dianggap sebagai musuh bersama? Dan dalam penetapan tersangka kemarin, apakah kajian KPK sampai ke hal-hal seperti ini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menyoal Istilah Samosir Kepingan Surga
SAYA tergelitik dengan sebuah ucapan bernada protes dalam sebuah grup WA. Seseorang di grup WA parSamosir itu minta agar jangan lagi men...
-
SAYA tergelitik dengan sebuah ucapan bernada protes dalam sebuah grup WA. Seseorang di grup WA parSamosir itu minta agar jangan lagi men...
-
HINS (Harmonious Ideal and Natural-Sound Seeker) adalah salah satu perekam yang berjaya pada masa pra-lisensi. Dan tentu saja sebagaiman...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar