Rabu, 02 Mei 2018

Pemilihan Langsung di Indonesia, Anugerah atau Bencana?


SEGALA jenis pemilihan langsung mulai dari pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif, hingga pemilihan presiden, membawa dampak luar biasa kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Euforia kebebasan berpendapat yang sebelumnya terkekang di Era Orde Baru, sepertinya mendapat tempat subur untuk berkembang biak.
   
Namun sayang, perkembangan demokrasi tersebut, tidak diimbangi perkembangan yang baik pada wawasan berpikir maupun mentalitas masyarakat Indonesia. Masyarakat sepertinya belum siap menerima perubahan di bidang demokrasi tadi, sehingga bahkan timbul kesan, reformasi muncul terlalu dini.
   
Faktanya, kebebasan berpendapat sering kebablasan dengan tindakan-tindakan tidak pada tempatnya dan justeru lebih sering bertentangan dengan yang disuarakan. Para pengunjuk rasa sering menyuarakan keadilan, kedamaian, dan sebagainya, justeru dengan merusak fasilitas umum dan mengganggu aktifitas orang-orang yang katanya, mereka perjuangkan.
   
Yang disesalkan, kesalahkaprahan atas demokrasi pun merambat ke segala jenis pemilihan umum. Bagi masyarakat, musim pemilihan umum, baik pilkada, pemilu legislatif, maupun pilpres, terkesan sebagai musim rezeki. Musim di mana para kandidat akan membagi-bagikan sesuatu, baik berbentuk uang maupun barang.
   
Bahkan yang menyedihkan, musim pemilihan menjadi musim penambahan musuh baru. Pilpres 2014 sudah meninggalkan dua kubu yang sampai sekarang tak pernah damai. Saling menghujat dan memaki, terutama di medsos, sudah menjadi pemandangan biasa.

Kemudian situasi dipertajam dengan Pilkada DKI. Pihak yang saling berlawanan bertambah di tengah suasana makin panas. Ditimpali makin maraknya hoax, untuk tujuan-tujuan tertentu. Belum lagi pemanfaatan massa dari komunitas tertentu, yang dimobilisasi untuk kekuasaan, dan akhirnya menambah permusuhan baru.

TIGA JENIS PEMILIH

Para pengamat politik mengatakan, ada tiga jenis pemilih, yaitu pemilih yang berdasarkan rasa emosional, rasional, dan pragmatis. Sedihnya, pemilih sekarang justeru didominasi pemilih pragmatis, yang memilih berdasarkan imbalan serta janji instan yang tak jelas kebenarannya. Janji instan ini bisa berupa materi, iming-iming surga, dan lainnya.

Jadi kita tidak heran, pada saat proses pilkada berlangsung, maka yang sering ditanyakan warga adalah soal ‘kejelasan’ dalam artian materi apa yang akan mereka terima. Selain itu, masalah surga dan neraka pun akan mereka tanyakan juga, meski hubungan antara surga dan neraka terhadap pemilihan kepala daerah, masih terus jadi perdebatan.

Padahal, dominasi pemilih pragmatis, selain menimbulkan ‘cost’ tinggi, akan meninggalkan beban kepada kepala pemerintahan terpilih, sehingga berpotensi mengabaikan kepentingan rakyat. Akibatnya akan semakin jauh harapan kepada kepala pemerintahan terpilih. Besarnya biaya yang ditanggung selama selama proses pilkada, pileg, maupun pilpres, akan jadi beban pemikirannya selama memimpin, sehingga akan mencari segala upaya mengembalikan uangnya, plus bunga-bunganya.
   
Belum lagi biaya atas pecahnya masyarakat, yang nilainya tak bisa diukur dengan apa pun.

Dan meski resikonya sangat besar bagi negata, namun para politikus busuk memanfaatkan ini untuk mencapai tujuan. Ini sebuah kebuah kenyataan ironis, di mana saat sebuah pemilihan langsung harusnya memberi kesempatan memilih seorang pimpinan berkualitas, masyarakat dan para politikus busuk merusaknya.

KEMBALI KE DPRD?

Padahal dulu, saat pemilihan kepala pemerintahan/daerah masih dilakukan MPR RI/DPRD setempat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, hingga nasional, masyarakat banyak protes, dengan salah satu alasan, kepala pemerintahan/daerah terpilih, bukan atas keinginan mereka.

Masyarakat selalu menuding (saat itu), bahwa kekuatan uang selalu ‘bermain’ dalam setiap pemilihan kepala pemerintahan/daerah oleh wakil rakyat. Hingga akhirnya, rakyat pun diberi kesempatan untuk memilih sendiri, dengan harapan, kualitas pemimpin akan makin mendekati harapan masyarakat yang memilihnya.
   
Namun, fakta berkata lain, di mana segala jenis pemilihan bukannya memperbaiki hasil pilihan, bahkan lebih dari itu, malah merusak mental pemilih, yaitu masyarakat, walau mungkin tidak seluruhnya. Politik uang yang dulu dengan lantang diteriakkan masyarakat kepada legislatif di segala tingkatan saat pemilihan kepala pemerintahan/daerah, justeru malah makin berkembang dengan subur saat pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat.
   
Bahkan yang menyedihkan lagi, di hampir semua daerah, khususnya Sumut, sudah ada tarif tertentu yang dibebankan masyarakat kepada kandidat, apabila ingin dipilih. Nilainya mencapai ratusan ribu rupiah per kepala. Rakyat sepertinya tidak lagi memikirkan, seberapa besar dana yang harus dikeluarkan seorang kandidat hanya sekedar merebut jabatan bupati misalnya, kalau seorang calon pemilih harus dibayar sekian ratus ribu. Apalagi kalau sudah skala nasional.
   
Selain soal uang, perpecahan sebagaimana disebutkan di atas pun makin menajam.

Dan hasil pemilihan tentunya sangat gampang ditebak. Ada pengeluaran, tentu ada pemasukan plus laba. Ada fanatik membabibuta, maka ada perpecahan. Masalah, apakah kebijakan kepala daerah itu nantinya prorakyat atau tidak, bukan lagi masalah. Toh hampir semua kandidat berpikir, urusan dengan rakyat sudah selesai saat mereka memberi uang dan janji-janji surgawi.

Akhirnya, rakyat sendiri yang jadi korban dan tidak bisa melakukan apa-apa saat ada kebijakan kepala pemerintahan/daerah yang dirasakan tidak berpihak. Nggak salah kalau kepala pemerintahan/daerah terpilih punya pemikiran, apalagi yang diributkan. Toh semuanya sudah dibayar tuntas.
   
PERPECAHAN SAMPAI KAPAN?

Belum lagi masalah paling populer sejak Pilpres 2014 hingga Pilkada DKI, sebagaimana disinggung di atas, yaitu menjamurnya caci maki. Rakyat seolah merasa, bahwa mencaci, menghina, menghujat, dan memfitnah itu sudah menjadi lumrah. Tanpa jelas apa tujuan membela dengan membabi-buta, hingga menghalalkan secala cara.

Coba kita perhatikan sekarang di media sosial. Pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo tak habis-habisnya saling menyerang. Demikian juga antara pendukung Anies dan Ahok. Hoax pun 'berseliweran' bagai angkot di jalanan. Mulai hoax halus sampai paling kasar, bebas muncul tanpa ada filter apa pun, ditelan habis oleh masyarakat yang gampang dicuci otaknya.

Mempunyai pilihan pada pilpres adalah hal yang sangat baik. Seorang warga negara memanglah seharusnya aktif menyukseskan pilpres dengan turut serta menjatuhkan pilihan. Mendukung kandidat juga tidak salah. Malah aneh rasanya kalau kita memilih tanpa alasan. Akan tetapi, kehilangan teman, bahkan keluarga, bahkan rasa kemanusiaan, janganlah sampai dianggap menjadi harga yang pantas hanya demi membela si kandidat.

Padahal ironisnya, si kandidat, kenal pun nggak dengan mereka. Yang ada hanya fanatisme membabi-buta.
   
Akhirnya kita hanya bisa bertanya, "Pemilihan langsung ini, apakah anugerah atau bencana?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyoal Istilah Samosir Kepingan Surga

SAYA tergelitik dengan sebuah ucapan bernada protes dalam sebuah grup WA. Seseorang di grup WA parSamosir itu minta agar jangan lagi men...